Pergaulan
Terlarang Remaja
Malang nian nasib Fia.
Sudah setahun ini dia dan kedua saudaranya tinggal bersama neneknya yang renta.
Kedua orang tuanya telah meninggalkan mereka menghadap Sang Ilahi. Cinta dan
kasih sayang nenek serta paman dan bibinya dirasanya belum cukup untuk
menggantikan orang tuanya. Walaupun tidak serumah namun pantauan dan perhatian
mereka selalu tercurahkan.
Sudah dua puluh satu
hari Fia tidak masuk sekolah. Namun surat ijin selalu kami terima. Ada surat
yang dibuat oleh pamannya selaku wali orang tuanya. Bahkan neneknya yang
notabene buta huruf pun menandai surat yang dikirimkannya. Dia memalsukan tanda
tangan walinya. Ada pula surat sakit yang dikeluarkan bidan setempat. Sementara
kabar burung yang kami terima adalah si Fia sudah tidak ingin melanjutkan
pendidikannya lagi. Dia malas belajar. “Dia hamil, bu,” kata salah seorang
teman sebangkunya. “Dia sering bepergian dengan pemuda tetangga desa. Neneknya
tidak tahu, pamannya pun dibohonginya.”
Suatu hari saya selaku
guru bimbingan konseling (BK) disekolah dan wali kelasnya mengadakan home visit. Hal itu dikarenakan kami
ingin mengklarifikasi surat ijin tidak masuk sekolah yang datang dengan
desas-desus di kelasnya yang sedang hangat beredar.
Sesampainya pada alamat
yang dituju, kami hanya disambut neneknya yang sibuk melayani pembeli di toko
kelontong miliknya. Walaupun sudah diterangkan tapi neneknya tetap tidak
memahami maksud dan tujuan kedatangan kami. “Anaknya sedang kulakan, nak” katanya kepada kami. “Dia
tadi berangkat jam sebelas siang.”
Kami putuskan menelepon
pamannya. “Ya bu, saya akan meluncur kesana,” kata si paman sambil menutup
telepon selulernya. Kami melihat sekeliling rumah sambil mendengarkan cerita si
nenek. Sebenarnya orang tua Fia bukan tergolong tidak mampu. Belakang rumahnya
sangat luas. Ada peternakan sapi di sana dengan puluhan ekor sapi. Si nenek
berkata, ”Fia adalah anak yang baik, selalu menurut, bu.” “Kalau bepergian
dengan temannya tidak pernah pulang malam. Tapi ya ndak tahu akhir-akhir ini
kok mulai malas. Siapa yang memengaruhinya? Saya ndak tahu bu guru?”
Tepat pukul 1.30 si
paman datang dengan menunggang sepeda motornya. Beristirahat beberapa saat
sambil menyilahkan kami mencicipi makanan dan minuman yang terhidang, beliau
berkata, “Memang Fia sudah tidak mau bersekolah lagi.” “Saya sudah membujuknya tapi dia tetap
bersikeras tidak mau sekolah” lanjutnya. “Lho kenapa pak? Kok begitu,” tanya
saya. “Dia selalu diusili temannya disekolah. Terakhir baju olah raganya
disembunyikan temannya,” terangnya. “Bahkan dia malu karena telah digunjingkan
hamil. Padalah tidak lho bu. Sudah saya bawa untuk tes kehamilan di rumah sakit.
Kalau bu guru mau melihatnya saya ambilkan dulu,” katanya mendesak.
“Ya sudah pak. Bila hal
itu tidak benar, kami minta tolong bapak membujuk Fia untuk kembali ke sekolah
yang baru tiga bulan ini dia tempati. Untuk desas-desus di sekolah kami berdua
akan memberi keterangan kepada temannya,” kata bu Indah, wali kelasnya. “Kami
tunggu dua hari ke depan, ya pak,” lanjut saya. “Mau tidak mau kembali ke
sekolah, tetap kami tunggu bapak di kantor BK pukul sembilan pagi,” tandas saya
sambil memberikan surat panggilan yang telah kami siapkan.
Kamis ini pukul
sembilan tepat, pak Adi yang ditunggu telah menunjukkan batang hidungnya. Dia
sendirian. Tak tampak Fia duduk disampingnya di ruang tamu BK. Bersama
koordiantor BK, bu Lia memulai pembicaraan. “Kemana Fianya pak? Kog gak ikut.
Terus keputusannya bagaimana,” cecar bu Lia. “Maaf, bu. Saya selaku wali dari
Fia, saya putuskan dia berhenti sekolah,” jawab pak Adi singkat.
Bu Lia kemudian
menyiapkan beberapa surat untuk kelengkapan pernyataan keluar sekolah, saya
menyelidik “Siapa nama bidan yang menandatangi surat ijin Fia ini, pak? Dimana
rumahnya, ya?” “Oh itu bidannya anak
saya sendiri bu. Berarti saudara sepupu Fia.”
“Lalu kapan pak, hari pernikahan Fia? Ini lho, saya dengar dari temannya
dan mengajak saya dan bu Indah hadir ke sana. Temannya bahkan menunjukkan
undangannya,” lanjut saya. “Iya bu hari sabtu besok, tapi ndak rame-rame kok. Hanya syukuran biasa,” jawabnya.
“Sekali lagi saya minta
maaf, bila ada kesalahan Fia. Memang karena anaknya kurang perhatian. Salah
memilih teman lagi, ya akhirnya kayak begitu, bu. Dia ternyata kalau pagi
berangkat ke sekolah tapi ndak pernah sampai sekolah. Malah pergi ndak tahu
kemana sama dia itu lho,” terangnya. “Padahal saya diamanati oleh bapaknya. Dan
untungnya si lelaki mau bertanggung jawab atasnya. Ya sudah saya kawinkan
saja,” ujar pamannya dengan nada sedih. Setelah menandatangani surat yang diajukan
bu Lia, beliau pun pamit pulang.
Dari cerita di atas
kita tahu bahwa pengaruh lingkungan juga sangat kuat membentuk anak. Perhatian
dan kasih sayang orang tua sangat membantu memberikan tempat aman untuk
berlindung. Juga sebagai tempat curahan hati si anak. Keimanan yang teguh juga
dapat membentengi anak dari jalan dosa. (kd)
Jangan jadikan contoh
BalasHapus