Breaking News

Minggu, 28 Juni 2015

Feature : PERGAULAN TERLARANG REMAJA

Pergaulan Terlarang Remaja

Malang nian nasib Fia. Sudah setahun ini dia dan kedua saudaranya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya telah meninggalkan mereka menghadap Sang Ilahi. Cinta dan kasih sayang nenek serta paman dan bibinya dirasanya belum cukup untuk menggantikan orang tuanya. Walaupun tidak serumah namun pantauan dan perhatian mereka selalu tercurahkan.
Sudah dua puluh satu hari Fia tidak masuk sekolah. Namun surat ijin selalu kami terima. Ada surat yang dibuat oleh pamannya selaku wali orang tuanya. Bahkan neneknya yang notabene buta huruf pun menandai surat yang dikirimkannya. Dia memalsukan tanda tangan walinya. Ada pula surat sakit yang dikeluarkan bidan setempat. Sementara kabar burung yang kami terima adalah si Fia sudah tidak ingin melanjutkan pendidikannya lagi. Dia malas belajar. “Dia hamil, bu,” kata salah seorang teman sebangkunya. “Dia sering bepergian dengan pemuda tetangga desa. Neneknya tidak tahu, pamannya pun dibohonginya.”
Suatu hari saya selaku guru bimbingan konseling (BK) disekolah dan wali kelasnya mengadakan home visit. Hal itu dikarenakan kami ingin mengklarifikasi surat ijin tidak masuk sekolah yang datang dengan desas-desus di kelasnya yang sedang hangat beredar.
Sesampainya pada alamat yang dituju, kami hanya disambut neneknya yang sibuk melayani pembeli di toko kelontong miliknya. Walaupun sudah diterangkan tapi neneknya tetap tidak memahami maksud dan tujuan kedatangan kami. “Anaknya sedang kulakan, nak” katanya kepada kami. “Dia tadi berangkat jam sebelas siang.”
Kami putuskan menelepon pamannya. “Ya bu, saya akan meluncur kesana,” kata si paman sambil menutup telepon selulernya. Kami melihat sekeliling rumah sambil mendengarkan cerita si nenek. Sebenarnya orang tua Fia bukan tergolong tidak mampu. Belakang rumahnya sangat luas. Ada peternakan sapi di sana dengan puluhan ekor sapi. Si nenek berkata, ”Fia adalah anak yang baik, selalu menurut, bu.” “Kalau bepergian dengan temannya tidak pernah pulang malam. Tapi ya ndak tahu akhir-akhir ini kok mulai malas. Siapa yang memengaruhinya? Saya ndak tahu bu guru?”
Tepat pukul 1.30 si paman datang dengan menunggang sepeda motornya. Beristirahat beberapa saat sambil menyilahkan kami mencicipi makanan dan minuman yang terhidang, beliau berkata, “Memang Fia sudah tidak mau bersekolah lagi.”  “Saya sudah membujuknya tapi dia tetap bersikeras tidak mau sekolah” lanjutnya. “Lho kenapa pak? Kok begitu,” tanya saya. “Dia selalu diusili temannya disekolah. Terakhir baju olah raganya disembunyikan temannya,” terangnya. “Bahkan dia malu karena telah digunjingkan hamil. Padalah tidak lho bu. Sudah saya bawa untuk tes kehamilan di rumah sakit. Kalau bu guru mau melihatnya saya ambilkan dulu,” katanya mendesak.
“Ya sudah pak. Bila hal itu tidak benar, kami minta tolong bapak membujuk Fia untuk kembali ke sekolah yang baru tiga bulan ini dia tempati. Untuk desas-desus di sekolah kami berdua akan memberi keterangan kepada temannya,” kata bu Indah, wali kelasnya. “Kami tunggu dua hari ke depan, ya pak,” lanjut saya. “Mau tidak mau kembali ke sekolah, tetap kami tunggu bapak di kantor BK pukul sembilan pagi,” tandas saya sambil memberikan surat panggilan yang telah kami siapkan.
Kamis ini pukul sembilan tepat, pak Adi yang ditunggu telah menunjukkan batang hidungnya. Dia sendirian. Tak tampak Fia duduk disampingnya di ruang tamu BK. Bersama koordiantor BK, bu Lia memulai pembicaraan. “Kemana Fianya pak? Kog gak ikut. Terus keputusannya bagaimana,” cecar bu Lia. “Maaf, bu. Saya selaku wali dari Fia, saya putuskan dia berhenti sekolah,” jawab pak Adi singkat.
Bu Lia kemudian menyiapkan beberapa surat untuk kelengkapan pernyataan keluar sekolah, saya menyelidik “Siapa nama bidan yang menandatangi surat ijin Fia ini, pak? Dimana rumahnya, ya?”  “Oh itu bidannya anak saya sendiri bu. Berarti saudara sepupu Fia.”  “Lalu kapan pak, hari pernikahan Fia? Ini lho, saya dengar dari temannya dan mengajak saya dan bu Indah hadir ke sana. Temannya bahkan menunjukkan undangannya,” lanjut saya. “Iya bu hari sabtu besok, tapi ndak rame-rame kok. Hanya syukuran biasa,” jawabnya.
“Sekali lagi saya minta maaf, bila ada kesalahan Fia. Memang karena anaknya kurang perhatian. Salah memilih teman lagi, ya akhirnya kayak begitu, bu. Dia ternyata kalau pagi berangkat ke sekolah tapi ndak pernah sampai sekolah. Malah pergi ndak tahu kemana sama dia itu lho,” terangnya. “Padahal saya diamanati oleh bapaknya. Dan untungnya si lelaki mau bertanggung jawab atasnya. Ya sudah saya kawinkan saja,” ujar pamannya dengan nada sedih. Setelah menandatangani surat yang diajukan bu Lia, beliau pun pamit pulang.
Dari cerita di atas kita tahu bahwa pengaruh lingkungan juga sangat kuat membentuk anak. Perhatian dan kasih sayang orang tua sangat membantu memberikan tempat aman untuk berlindung. Juga sebagai tempat curahan hati si anak. Keimanan yang teguh juga dapat membentengi anak dari jalan dosa.  (kd)






1 komentar:

Designed Template By Blogger Templates - Powered by Sagusablog